Senin, 03 November 2008

STT No. 2289 Volume VII Nomor 12 Tahun 2004





ANALISA KEBIJAKAN PENGGUNAAN ROMPI TAHAN PELURU TAKTIS DI LAPANGAN
EKO MISRIANTO (Tenaga Fungsional Set Balitbang Dephan)


Abstraksi.
Rompi tahan peluru merupakan salah satu alat pendukung militer yang mempunyai peranan sangat penting dalam rangka tugas operasi dibidang Pertahanan Keamanan. Tanpa pemakaian rompi tahan peluru dimungkinkan mengurangi rasa percaya diri yang berakibat kegagalan tugas operasi. Pada dasarnya rompi tahan peluru sangat dibutuhkan dalam rangka penumbuhan daya psikologis dan moral tempur yang tinggi, disamping rompi itu sendiri mampu berfungsi melindungi pemakai dari senjata tajam, pecahan granat, pukulan, benturan dan hantaman akibat tembakan senjata khususnya AK-47, SS1/FNC dengan munisi kal 6.62 mm FMJ/AP dan 5.56 mm FMJ/AP.
Analisa kebijakan penggunaan rompi tahan peluru taktis dimaksud untuk mengatasi kekurangan yang ada pada rompi tahan peluru taktis sebelumnya. Seperti rompi level III yang kedudukan dan fungsinya telah digantikan dengan level IV, namun proses pencapaian yang tepat guna, praktis dan efisien masih memakan waktu panjang serta memerlukan rekayasa serta uji lapangan. Mengingat sampai saat ini pemakaian rompi taktis dirasa masih kurang ergonomis baik ditinjau dari aspek kemampuan, konstruksi, insani dan ekonomis.
Oleh karenanya perlu diupayakan dan dicarikan kebijakan spesifik untuk menciptakan rekayasa serta perwujudan prototipe baru yang lebih ergonomis bagi pasukan sehingga dapat menyelenggarakan fungsinya dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan Nasional serta Internasional.

Beberapa Pokok Pengertian dan Pemikiran.
Untuk menghindari terjadinya salah tafsir terhadap beberapa pokok pengertian utama, maka berikut ini dikemukakan terlebih dahulu beberapa konsep pokok.
Rompi tahan peluru adalah Baju berupa rompi terbuat dari kain dilengkapi bahan penahan kejut (kevlar) didalamnya dan berfungsi sebagai penahan bacokan benda tajam, pecahan granat, tekanan/kejut dari pistol dan senjata laras panjang.
Rompi taktis adalah rompi yang berfungsi memberikan daya kebal bagi si pemakai terhadap serangan lawan yang bersenjata antara lain senapan, pecahan granat serta pecahan munisi kaliber besar didaerah serbuan/pertempuran.
Jenis rompi di lingkungan militer antara lain rompi taktis, Dakhura, Intel, WAL/VIP. Sedangkan kalau di kelompokkan menurut level/tipenya yaitu level I, II, III A sebagai rompi Intel, WAL/VIP, untuk level III dan level IV digolongkan sebagai rompi taktis.

Persyaratan Umum Pemakaian Rompi Taktis.
1. Dapat memberikan kekebalan bagi si pemakai terhadap senjata tajam dan tembakan.
2. Ringan, enak dipakai dan tidak mengganggu gerakan .
3. Tahan terhadap segala cuaca dan tidak mudah sobek.
4. Dapat memberikan efek kejut kepada lawan (menurunkan moril lawan)
5. Dapat menjamin kerahasiaan.
6. Tahan terhadap tembakan senapan laras panjang kaliber 7,62 mm dan 5.56 mm
Analisis kebijakan (Policy analisis) adalah merumuskan nasihat/deskripsi untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan pemakaian rompi taktis. Disusun dengan pendekatan sintesis hasil penelitian, pengumpulan data fakta dan teori lapangan sehingga memungkinkan pengambilan keputusan tang tepat, efisien dan selanjutnya diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal.

Metode Tes (Test Method)
Pengujian rompi tahan peluru taktis semula berdasarkan NIJ Standard 01.01.03 direvisi oleh National Law Enforcement and Correction Technology Centre (NLECTC) bekerja sama dengan The Office of Law Enforcement Standard (OLES) dan The Law Enforcement and Correction Technology Advisory Council (LECTAL) menjadi NIJ standard 01.01.04. Pengujian dilakukan dengan penembakan plat sebanyak 5 kali pada jarak 15 meter dengan senjata M 16, FNC, SS1 dan AK-47. Kecepatan peluru yang di persyaratkan V 2,5 m = 930 + 30 m/dt. Untuk level III tahan terhadap kaliber 30 Carbine FMJ, 7.62 X 39 123 GR FMJ, 5,56 (223 REM) 55 GR FMJ, 7,62 X 51 NATO 158 GR FMJ, sedangkan level IV tahan terhadap keliber 5.56 (223 REM) 55 GR FMJ/AP, 7.62 X 39 123 GR FMJ/AP, 7,62 X 51 NATO 150 GR FMJ/AP dan 30-0,6 M1 180 GR AP. Penilaian kemampuan tahan kejut akibat benturan tembakan dapat di cek dari deformasi backing material yang tidak melebihi skip penghalang 44 mm.

Penentuan Kualitas Rompi Taktis (Operasional).
Untuk menentukan dan cara penilaian sebuah rompi taktis dapat ditinjau dari aspek konstruksi, aspek kemampuan, dan aspek insani yaitu :
1. Aspek Konstruksi.
a. Berat Lengkap.
1) S ≤ 4700 gram
2) M ≤ 5100 gram
3) L ≤ 5500 gram
4) LL ≤ 6000 gram
b. Dimensi lingkaran
1) S 80 - 55 cm
2) M 90 - 95 cm
3) L 100 - 105 cm
4) LL 105 - 115 cm
c. Penyesuaian : Ada alat penyesuai
d. Jumlah lapis Kevlar : 32 lapis
e. Bentuk.
1) Bagian depan : Dada sampai pusar terlindung dan tidak menonjol.
2) Bagian belakang : Punggung sampai pinggang terlindung
3) Bagian samping : Kanan/kiri ketiak sampai pinggul terlindung
f. Kancing : Ada dengan sistem tekan dan valcro
g. Warna : Loreng/hijau militer
h. Perlengkapan : Ada saku untuk perlengkapan lain.
2. Aspek Kemampuan.
a. Daya tahan tembus peluru
1) Kondisi kering: Tidak tembus, dekokan skip penghalang ≤ 44 mm 4
2) Kondisi basah: Tidak tembus, dekokan skip penghalang ≤ 44 mm
b. Daya tahan tembus senjata tajam.
1) Tusukan : Tidak tembus
2) Bacokan : Tidak tembus
c. Daya tahan sobek: ≥ 5 kg
d. Daya kuat tarik jahitan: ≥ 5 kg
e. Daya kuat tarik kancing: ≥ 0,75 kg
f. Daya serap air: ≤ 30 %
3. Aspek Insani.
a. Penyesuaian bentuk : Enak/sesuai
b. Pemakaian/pelepasan
1) Pemakaian: ≤ 60 detik
2) Pelepasan: ≤ 60 detik
c. Perbedaan waktu berlari tanpa/dengan rompi: ≤ 10 %
d. Perbedaan waktu merayap tanpa /dengan rompi: ≤ 15 %
e. Perbedaan waktu berguling tanpa/dengan rompi: ≤ 15 %
f. Keenakan/kenyamanan.
1) Berlari : Tidak mengganggu
2) Merayap : Tidak mengganggu
3) Berguling : Tidak mengganggu

Klasifikasi Masalah.
Pertama. Penggolongan rompi menurut fungsi dan level yaitu level III/A ke bawah digolongkan rompi yang hanya mampu menahan pistol kaliber 9 mm dan berfungsi sebagai rompi WAL/VIP, sedangkan level III dan IV sebagai rompi yang mampu menahan senapan laras panjang kal 7.62 mm dan 5.56 mm digolongkan sebagai rompi taktis.
Kedua. Pemakaian rompi level III/A ke bawah diletakkan di baju bagian dalam sedangkan level III dan IV diletakkan bagian luar baju, adapun perbedaan antara kedua jenis ada pada bagian plat yang berukuran 25 X 30 cm yang disisipkan pada kantong bagian depan dan belakang.
Ketiga. Penggunaan bahan plat penahan hentakan/kejut peluru sangat berpengaruh pada kualitas dan berat rompi yang melahirkan rekayasa dari generasi ke genarasi berikutnya antara lain, plat dari baja, potongan besi, keramik dan spectra shell.
Keempat. Untuk rompi taktis level III dan IV secara fisik tidak ada perbedaan nyata, namun apabila dilihat dari aspek kemampuan sangat berbeda dan masih tumpang tindih hal ini dapat dibuktikan pada pengujian tembakan. Untuk level III dengan kal 7.62 mm FMJ dan 5.56 mm FMJ sedangkan level IV menggunakan 7.62 mm AP dan 5.56 mm AP

Masalah Utama Penggunaan Rompi Taktis.
1. Salah penentu keputusan, secara esensial penyebab kegagalan tugas operasi di lapangan, dikarenakan kebijakan yang ditetapkan tidak kooperatip dan efesien. Bentuk dan sumber kegagalan tugas operasi yang signifikan adalah: pengaruh eksternal, ketidak-setaraan penerimaan sistem informasi, penempatan prioritas yang salah dan ketidak-pastian.
2. Pengaruh eksternal dalam penggunaan, pada intinya adalah suatu tindakan non-produktip yang masih adanya ketergantungan bahan baku sampai bahan jadi rompi pada luar negeri dan selanjutnya akan membawa konsekuensi dengan segala akibatnya. Namun pada pengaruh eksternalitas yang negatif negara pemasok sangat diuntungkan (beneficiries) sedang pihak penerima dalam hal ini negara Indonesia (militer) yang dirugikan (losers). Fonomena tersebut dapat diperlihatkan pada kurangnya keterjaminan kerahasiaan kualitas rompi taktis beserta plat kerena sudah diketahui pihak luar (lawan).
3. Perbedaan kesetaraan penerima informasi. Pada intinya merupakan suatu kondisi yang menjelaskan ketidak seimbangan tingkat penguasaan informasi dan pengetahuan. Negara berkembang pada umumnya masih terbelakang di bidang sistem informasi Iptek dan bidang lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada penguasaan dan perawatan meterial khususnya rompi tahan peluru.
4. Penempatan prioritas yang salah. Pada intinya merupakan kondisi yang salah menempatkan prioritas penilaian, pandangan tersebut dapat dilihat pada pemberian nilai uji rompi di lapangan. Untuk pemberian urutan kualitas seharusnya uji kemampuan menempati prioritas pertama, begitu pula deformasi yang terjadi seharusnya diberi penilaian khusus, dari data di lapangan deformasi yang baik seyogyanya £ 12 mm, begitu pula aspek kemampuan lainnya dengan nilai total 50 % dari seluruh total nilai disamping memperhatikan aspek konstruksi dan insani.
5. Ketidak pastian. Pada intinya kondisi katidakpastian dapat terlihat dari kurangnya profesional dalam optimalisasi kualitas rompi dengan cara perwujudan prototipe rompi tahan peluru dengan cara rekayasa lapisan/layer kevlar pada rompi taktis, begitu pula plat level IV masih dirasa coba-coba tanpa didukung pengetahuan ilmiah. Apabila hal ini dilakukan dan dipaksakan pada pasukan militer maka akan menurunkan daya tempur dan daya psikologis dalam kontek pertahanan dan keamanan.
Dari penjelasan dan uraian persoalan di atas selanjutnya akan mengarahkan kepada penekanan problematika utama yaitu permasalahan penggunaan plat rompi anti peluru level IV yang tepat guna dan optimal.

Analisa Permasalahan.
Yang enjadi perhatian dalam pemilihan rompi tahan peluru level IV adalah plat yang berukuran 25 X 30 yang disisipkan dalam kantong bagian luar rompi. Dari deformasi yang dihasilkan akibat benturan dengan anak peluru menunjukkan bahwa mampu menahan tipe kaliber jenis 7,62 FMJ dan 5,56 FMJ dan tidak mampu menahan kaliber yang sama dengan jenis AP. Bentuk fisik kedua jenis rompi tidak ada perbedaan, begitu pula standard pengujian yaitu menggunakan NIJ 01.01.04 dengan jarak tembak 15 m.
Adapun pemilihan jenis plat yang semula terbuat dari baja sebaiknya dibuat dari keramik campuran Ca dengan Al2O3 hal ini lebih baik karena benturan peluru dengan plat dari keramik, anak peluru ditangkap oleh keramik dan tidak tembus. Sedangkan plat dari baja, apabila terjadi benturan anak peluru dengan plat akan terjadi recoset menyebabkan kawan yang ada di sekitar mudah terkena resiko pecahan anak peluru. Begitu pula efek benturan plat baja menjadi panas dan akan membakar kulit pemakai. Untuk pengujian dengan senapan besar perlu digunakan jenis AK-47, FNC/SS1 dengan munisi kal 7,62 AP dan 5,56 AP bukan FMJ.
Kebutuhan akan rompi tahan peluru sangat spesifik karena menyangkut pertahanan dan keamanan negara untuk itu pemilihan sebuah rompi yang berkualitas tinggi, jaminan security, ergonomik sangat dibutuhkan pihak prajurit TNI. Untuk memenuhi hal tersebut telah dilakukan pengujian lapangan terhadap rompi produk Dae Woo Corporation Korea Selatan, Lumenn Coperation Taiwan, Yugoslavia, Tung Gwo Industri Taiwan. Ketiga jenis rompi dengan asal negara yang berbeda telah dilakukan pengujian dengan perlakuan/standar uji yang sama, dengan senjata, AK-47 dan FNC jarak tembak 15 m, kondisi basah dan kering kecepatan peluru standar dengan 5 kali tembakan, 2 tembakan dengan senjata AK-47 kal. 7.62 mm AP, 3 tembakan dengan senjata FNC kal.5,56 mm AP. Dilihat dari rata-rata deformasi yang terjadi maka dapat ditujukkan pada tabel sebagai berikut :

HASIL PENGUJIAN PLAT ROMPI TAHAN PELURU LEVEL IV
YANG DIPRODUKSI OLEH 4 PERUSAHAAN ASING

Pengujian kondisi Kering.
1. Rata-rata deformasi kondisi kering keseluruhan 10,09 mm
2. Rata-rata deformasi per lokasi tembakan
- Tengah : 5,83 mm
- Kanan atas : 12,85 mm
- Kiri atas : 11,00 mm
- Kiri bawah : 9,57 mm
- Kanan bawah : 11,23 mm
Pegujian kondisi Basah.
1. Rata-rata deformasi kondisi kering keseluruhan 11,53 mm
2. Rata-rata deformasi per lokasi tembakan
- Tengah : 6,5 mm
- Kanan atas : 16,02 mm
- Kiri atas : 10,95 mm
- Kiri bawah : 10,02 mm
- Kanan bawah : 14,15 mm
Kondisi kering dengan senjata
1. Rata-rata deformasi kondisi kering dengan senjata AK-47 9,34 mm
2. Rata-rata deformasi kondisi kering dengan senjata FNC 10,60 mm
Pengujian kondisi basah dengan senjata
1. Rata-rata deformasi kondisi basah dengan senjata AK-47 10,46 mm
2. Rata-rata deformasi kondisi basah dengan senjata FNC 11,76 mm
Deformasi keseluruhan tanpa memperhatikan kondisi kering atau basah
- Rata-rata deformasi 10,81mm
- Rata-rata deformasi dengan senjata AK-47 9,90 mm
- Rata-rata deformasi dengan senjata FNC 10,18 mm
Begitu juga apabila dilihat dari efek ergonomis/kesesuaian rompi dengan bentuk tubuh prajurit indonesia, rata-rata prajurit mengatakan kurangnya sesuai/cocok dengan bentuk prajurit TNI. Apabila ini dipaksakan secara tidak langsung akan mengganggu pergerakan prajurit di medan operasi.

Pandangan fakta di lapangan
Dari hasil penelaahan dan analisis masalah adalah rumusan kebijakan yang dapat dijadikan sebagai pandangan atau wawasan serta nasihat, yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam kebijakan pemilihan rompi yang tepat dalam menghadapi permasalahan kebijakan pemilihan, yang selanjutnya menghasilkan alternatip kebijakan yang paling memungkinkan untuk diaplikasikan di masa yang akan datang. Kebijakan pemilihan ini dapat pula dijadikan salah satu hasil analisa kebijakan. Dari data yang dihasilkan di lapangan dapat ditarik hasil sebagi berikut:
Pengujian kondisi kering – basah
1. Pengujian pada kondisi kering rata-rata deformasi 10,09 mm, sedangkan untuk kondisi basah 11,53 mm, hal ini membuktikan pada kondisi basah kerapatan (density) plat lebih ringan dibandingkan dengan kondisi kering.
2. Pada kondisi basah plat ditembak dengan senapan AK-47 deformasinya 10,46mm, sedangkan FNC 10,60, perbedaan kedalaman deformasi ini dipengaruhi oleh kecepatan peluru kal 5,56 mm AP lebih cepat dibandingkan dengan kal 7,62 mm AP.
Pengujian tanpa memperhatikan kondisi atau perlakuan yang dibuat.
1. Deformasi rata-rata adalah 10,81mm
2. Deformasi rata-rata dengan penembakan senjata AK-47 adalah 9,90 mm
3. Deformasi rata-rata dengan penembakan senjata FNC adalah 10,18 mm
Pengujian kondisi kering basah ditinjau per posisi sasaran
1. Pada saat perkenaan dan deformasi yang terjadi, terdapat perbedaan yang sangat menyolok antara posisi tengan, kanan atas, kiri bawah, baik kondisi kering maupun basah. Hal ini membuktikan bahwa kerapatan (density) plat tidak sama dan hanya terfokus pada bagian tengah sedangkan plat berfungsi melindungi semua organ vital bagian dalam prajurit.
2. Deformasi rata-rata terjadi baik dengan memperhatikan kondisi kering/basah dan senjata yang digunakan baik AK-47/FNC, deformasi yang terjadi tidak melebihi ≤ 12 mm hal ini sebaikknya dijadikan standar maximum deformasi plat tahan peluru level IV.
Disamping secara teknik dilakukan pengujian yang menyangkut faktor internal, faktor eksternal pun sangat berperan dalam pemilihan sebuah rompi yang berkualitas tinggi. Faktor-faktor eksternal tersebut antara lain:
Deregulasi. Kebijakan ini ditujukan untuk mengoreksi terhadap semua regulasi yang selama ini diterapkan dalam menjalankan pengujian atau penentuan kualitas rompi. Dalam mengatasi hal ini seyogyanya pihak militer diusahakan mandiri dalam perwujudannya mulai dari bahan baku kevlar/spectra sampai pembuatan plat dan prototipe rompi taktis. Khusus pemilihan rompi taktis yang tidak terjadi fungsi yang tumpang tindih penggunaannya, sebaiknya menggunakan rompi level IV bukan level III. Karena kemampuan level IV pada uji kejut dengan senapan kaliber kecil mampu menahan kaliber 7,62 FMJ dan AP serta 5,56 FMJ dan AP. Sedangkan level III hanya mampu menahan jenis FMJ.
Debirokratisasi. Badan instansi di lingkungan militer tidak luput pula dari praktek perilaku yang tidak efesien dan transparan sehingga perlu suatu kebijakan sesuai kebutuhan militer begitu pula dalam peristiwa pemenuhan kebutuhan pengadaan rompi level IV seyogyanya melibatkan unsur pengguna, pembina dan badan litbang yang mampu memverifikasi, hal ini dimaksudkan untuk mengontrol dan menekan perilaku yang tidak efisien.
Regulasi. Kebijakan ini ditujukan untuk mengoreksi perbedaan penguasaan Iptek antara negara pensuplai dan negara penerima yang selama ini agak tertinggal dan diharapkan militer khususnya TNI/Dephan mampu menekan ketergantungan dan mampu menjaga security tanpa terdeteksi pihak luar.

Alternatip Kebijakan.
Dengan memperhatikan analisa permasalahan dan pandangan fakta di lapangan di atas berikut ini akan disampaikan beberapa kebijakan alternatif.
1. Melanjutkan kebijakan yang sudah dinilai baik namun tetap berpedoman pada peningkatan propesionalisme prajurit yang PEEM demi Pertahanan Keamanan Nasional maupun Internasional.
2. Menciptakan kondisi saling percaya antara badan litbang, pembina, pengguna(user) sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kebanggaan serta efisiensi.
3. Mampu mengontrol dan mencegah tindakan yang inefisien terhadap pemenuhan kebutuhan rompi taktis.
4. Mampu menyetarakan perkembangan teknologi baru serta mampu merekayasa serta menciptakan prototipe baru dengan mengutamakan security.
5. Menerapkan batasan deformasi plat ≤ 12 mm dan diharapkan mampu melaksanakan pengujian sesuai yang distandarkan oleh NIJ 01.01.04.

Efek Manfaat. Ditinjau dari segi manfaat setelah diimplementasikannya alternatip kebijakan dapat diprediksikan sebagai berikut :
1. Dengan adanya demokratisasi dan transparansi dalam pengambilan keputusan diharapkan dapat menciptakan kondisi yang kondusif pada peningkatan profesionalisme prajurit dalam kontek pertahanan dan keamanan negara.
2. Adanya kejelasan prosedur penilaian dan pengadaan rompi taktis yang valid dan tepat guna bagi kebutuhan prajurit akan menimbulkan rasa percaya diri di setiap tugas operasi.
3. Menciptakan daya tempur yang tinggi di medan operasi yang didukung oleh pemakaian kualitas rompi yang baik serta tidak diketahui pihak luar (musuh/lawan)
4. Terwujudnya prototipe rompi tahan peluru yang handal dan sesuai dengan ergonomis prajurit TNI yang tepat guna dan efisien.
5. Menghindari praktek yang tidak efisien dan efiektip disebabkan faktor eksternal maupun internal dalam pemenuhan kebutuhan rompi tahan peluru taktis sebagai akibat penunjukan langsung.

Kesimpulan.
Penentuan kebijakan keputusan dengan terciptanya demokratisasi dan transparansi yang jelas dalam pemilihan rompi taktis sangat berpengaruh terhadap daya tempur, psikologis dan peningkatan Pertahanan dan Keamanan Negara. Untuk menjamin kerahasiaan dan kualitas rompi taktis, TNI diharapkan mampu mengurangi ketergantungan luar negeri (negara pemasok) dan berusaha menciptakan prototipe baru yang ergonomis. Mengingat rompi taktis yang didatangkan dari luar negeri ukuran dan berat tidak sesuai untuk kebutuhan prajurit TNI.
Rompi anti peluru taktis yang cocok di lapangan dan tidak terjadi tumpang tindih adalah level IV, disamping mampu menahan kaliber 7,62mm FMJ/AP dan 5,56 mm FMJ/AP, rompi tersebut berfungsi juga sebagai rompi WAL/VIP apabila plat berada di kantong depan dan belakang diambil atau ditiadakan, hal ini untuk efisiensi pengadaan.
Dari hasil di atas sumber-sumber yang menyebabkan hambatan penentuan kebijakan yang salah pilih adalah pengaruh eksternal, ketidak-setaraan penerimaan informasi, penempatan prioritas yang salah dan ketidakpastian, sehingga apabila kita dapat menekan keempat permasalahan tersebut, maka kebijakan pemilihan rompi level IV yang tepat guna akan terwujud.

Saran-Saran.
Dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi praktis yang secara tidak langsung menuntut kesetaraan teknologi di lingkungan militer, agar profesional, efisien dan efektip (PEEM) maka plat rompi taktis yang semula terbuat dari keramik (campuran Ca + Al2O3) di ganti menjadi plat yang terbuat spectra shell. Mengingat benturan anak peluru dengan spectra shell, anak peluru langsung ditangkap tanpa adanya perubahan, sedangkan benturan yang terjadi antara anak peluru dengan keramik menimbulkan pecahan atau serpihan keramik tajam. Apabila serpihan tersebut mengenai tangan atau anggota badan menimbulkan luka, sedangkan untuk perwujudan rompi taktis dengan plat yang berbahan baku spectra shell perlu adanya litbang material serta SDM yang berkualitas.

Siapkah Kita Menghadapi e-Crime?

Call Center


SIDE BAR

Dalam sebuah diskusi pada kuliah pascasarjana di Universitas Bina Nusantara beberapa waktu yang lalu, seorang peserta bertanya apakah ada perlindungan hukum yang tersedia bagi pihak penyelenggara website yang kemasukan hacker yang memporak-porandakan informasi yang ada. Topik bahasan saat itu adalah website sebuah organisasi pemerintah Indonesia yang terkena musibah defacing. Sedemikian kacaunya isi website tersebut, sehingga yang tersisa lebih merupakan sebuah hinaan ketimbang sesuatu yang informatip. Dari hasil pelacakan yang dilakukan, dicurigai pengacauan ini dilakukan oleh hacker yang beroperasi dari sebuah negara yang kebetulan tidak demikian ramah terhadap Indonesia.

Komunikasi berbasis-komputer kini semakin mengglobal. Sedemikian maraknya, sehingga batas-batas dan kedaulatan negara-negara yang dilaluinya cenderung menjadi hilang-makna. Dalam konteks ini, terbentuklah sebuah lingkup baru: lingkup yang praktis nirbatas dan nyaris tidak tunduk pada keabsahan dan kemungkinan penerapan sistem hukum yang berbasis batas-batas geografis. Yang muncul adalah sebuah „perbatasan” baru yang memisahkan sebuah dunia maya – yang terdiri dari jejaring komputer, layar-pantau, papan-ketik dan passwords – dari dunia nyata yang lebih bersifat fisik. Dunia maya ini, yang semakin jamak disebut cyberspace, memerlukan perangkat hukum yang baru untuk sebuah tatanan badan-badan hukum yang belum jamak sebelumnya. Para penyusun perundangan dan hamba wet (penegak hukum) di banyak negara dihadapkan pada kenyataan runtuhnya keterkaitan antara lokasi geografis dan (1) kekuasaan pemerintah negara-negara untuk mengatur perilaku berjejaring, (2) dampak perilaku ini atas pribadi-pribadi dan atas berbagai barang yang bersangkutan, (3) keabsahan upaya satu negara atas fenomena yang juga menyentuh negara-negara lainnya, dan (4) kemampuan masing-masing negara untuk memberikan peringatan adanya peraturan yang mengatur perilaku berjejaring tersebut.

Di penghujung tahun 2002, di London berlangsung COMPSEC, sebuah konperensi internasional mengenai keamanan sistem komputer. Event yang dilaksanakan setahun sekali ini adalah salahsatu sumber informasi yang paling paripurna tentang masalah tersebut. Juga mengenai implikasinya, antara lain peringkat kemusykilan kejahatan di dunia komputer. Di antara demikian banyak topik yang dibahas, disentuh pula ihwal termutakhir mengenai kejahatan yang menggunakan komputer dan jejaring komunikasi data, atau yang umum dikenal dengan istilah e-Crime.

Dalam kaitan ini, patutlah bila kita prihatin setelah menyimak berita-berita yang keluar dari forum tersebut. Yang paling mencolok mungkin adalah pernyataan Rolf Hegel. pimpinan dari Serious Crime Department pada Europol: “Bicara mengenai cyber-crime, semakin jelas bahwa kita telah kalah dalam peperangan ini, bahkan sebelum kita mulai bertarung. Kita telah gagal untuk mengimbangi kecepatan perkembangan kejahatan yang satu ini.” Pernyataan yang dimuat dalam berita yang diturunkan oleh Bernhard Warner, Koresponden masalah Internet untuk wilayah Eropa pada Kantor Berita Reuters ini cukup mencengangkan, bahkan mungkin mencemaskan.

Sifat global yang mewarnai kejahatan dalam berjejaring komputer ini memang telah mengancam praktis seluruh masyarakat di dunia modern, dan menantang dinas-dinas kepolisian sedunia. Bermacam laporan yang dapat dikumpulkan dari berbagai negara, baik yang modern maupun yang masih berkembang, menunjukkan bahwa kelompok-kelompok kriminal yang terorganisir semakin banyak memanfaatkan teknologi termutakhir untuk melakukan kejahatan yang sudah mulai jamak dikenal, maupun bentuk-bentuk pelanggaran yang baru. Penyalah-gunaan Internet dan telepon genggam menjadi semakin populer dalam berbagai jenis e-Crime yang baru, mulai dari pornografi anak-di-bawah-umur (child pornography) sampai kejahatan korporasi yang semakin gawat akhir-akhir ini, khususnya sejak kuartal ketiga tahun 2001 yang lalu. Mencemaskan, apalagi bila ada seorang pejabat tinggi polisi internasional seperti Hegel yang sampai mengeluarkan pernyataan: „Kita jauh sekali tertinggal”.

Pada bulan September 2002 yang lalu, Europol telah membentuk High Tech Crime Centre, sebuah gugus kerja yang ditugasi untuk mengkoordinasikan kerjasama antar-negara di Eropa dalam melakukan penyidikan e-Crime lintas-batas. Menurut Hegel, unitnya saat ini memerlukan anggaran dan sumberdaya tambahan agar dapat berfungsi semestinya.

Serangan yang dilakukan atas sejumlah root servers yang terhubung dalam jejaring internet dunia awal Oktober 2002 yang lalu cukup mencemaskan bagi para pejabat law enforcement dunia. Dikhawatirkan bahwa kejahatan ini dilakukan secara terorganisir dan terkoordinasikan secara cermat dan profesional. Tujuannya adalah untuk mengganggu jejaring komunikasi global yang semakin vital untuk tata-niaga internasional.

Rolf Hegel bahkan menyatakan bahwa bila serangan seperti itu kini dilakukan pada jejaring komunikasi Eropa, maka polisi akan sangat kesulitan untuk melakukan penyidikan, apalagi untuk menangkap pelakunya. Ia berharap bahwa sistem hukum yang ada di Eropa dapat mendukung penyidikan dengan pola preventif a’la anti-terorisme yang diharapkan akan dapat menghindarkan negara-negara tersebut dari krisis, sebelum cyber crime meruyak dan merusak tata-niaga mereka. Hegel menyatakan bahwa tindak lanjut yang akan dilakukannya antara lain mencakup pembahasan mendalam dengan sasaran kejahatan jenis ini, yaitu perusahaan-perusahaan yang aktif memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengelolaannya.

Teknologi informasi dan kemudahan berjejaring dengan segala perniknya telah membuat tata-hukum dan proses rule-making yang biasanya digunakan, terutama yang berbasis batas-batas fisik dan geografis, menjadi kedaluwarsa. Paling tidak, kenyataan ini semakin mempertajam fakta bahwa cyberspace praktis tidak dapat diatur melalui tatanan hukum dan perundangan yang didefinisikan secara teritorial.•

Jos Luhukay •Pengamat dan Praktisi Ekonomi Baru.

Latar Belakang Cyberlaw

Ditulis pada oleh suray

Aspek keamanan erat kaitannya dengan aspek hukum. Dalam dunia teknologi informasi, keamanan menjadi masalah yang krusial. Sedemikian banyak pemanfaatan teknologi informasi dalam setiap sendi kehidupan saat ini, mulai dari pemanfaatannya untuk bisnis, kegiatan akademik, sistem pertahanan, hiburan, komunikasi dan lainnya. Tanpa teknologi informasi, kegiatan transaksi bisnis akan tertunda, sistem penanggulangan bencana akan lumpuh, kegiatan di bursa efek akan terhenti, singkatnya, kegiatan perekonomian akan lumpuh total.

Begitu banyak kepentingan yang dipertaruhkan dalam kaitannya dengan teknologi informasi membuatnya rentan terhadap berbagai ancaman kegiatan-kegiatan dan praktek-praktek yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. Apabila pelanggaran tersebut tidak dapat dikendalikan, dampaknya adalah ketidakjelasan dalam pemanfaatan teknologi tersebut untuk menunjang berbagai aspek sendi-sendi kegiatan dari pengguna teknologi tersebut.

Dalam halnya dengan perkembangan teknologi itu sendiri, terutama teknologi informasi, telah banyak dirasakan manfaat yang tidak terhitung jumlahnya. Teknologi informasi akan terus berkembang menjadi semakin canggih di kemudian hari, membatasi perkembangan teknologi tersebut bukan merupakan solusi yang bijaksana dalam hal mengatasi masalah pelanggaran keamanan tersebut. Akan tetapi, pengendalian terhadap cara-cara pemanfaatan dari teknologi tersebut untuk mencapai suatu tujuan merupakan langkah yang patut dipuji sebagai upaya untuk mengatasi masalah aspek keamanan, setidaknya dapat meminimalisasi niat pengguna yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan suatu tindakan pelanggaran.

Cyberlaw (Hukum Sistem Informasi) hadir sebagai alat pengendali pelanggaran tersebut. Hukum konvensional mengatur perilaku tiap individu atau kumpulan individu agar tidak melakukan suatu pelanggaran atas hal yang telah disepakati bersama merugikan pihak lain. Cyberlaw sama dengan hukum konvensional, hanya ia (cyberlaw) diasosiasikan untuk dunia cyber (dunia maya) misalnya Internet, yang di mana ruang dan waktu tidak diperlakukan sebagaimana halnya penerapannya pada hukum konvensional.

Internet dan jaringan komputer telah mendobrak semua batasan (ruang dan waktu) ini. Kendati demikian, cyberlaw belum diterapkan secara efektif di Indonesia.