Senin, 03 November 2008

Siapkah Kita Menghadapi e-Crime?

Call Center


SIDE BAR

Dalam sebuah diskusi pada kuliah pascasarjana di Universitas Bina Nusantara beberapa waktu yang lalu, seorang peserta bertanya apakah ada perlindungan hukum yang tersedia bagi pihak penyelenggara website yang kemasukan hacker yang memporak-porandakan informasi yang ada. Topik bahasan saat itu adalah website sebuah organisasi pemerintah Indonesia yang terkena musibah defacing. Sedemikian kacaunya isi website tersebut, sehingga yang tersisa lebih merupakan sebuah hinaan ketimbang sesuatu yang informatip. Dari hasil pelacakan yang dilakukan, dicurigai pengacauan ini dilakukan oleh hacker yang beroperasi dari sebuah negara yang kebetulan tidak demikian ramah terhadap Indonesia.

Komunikasi berbasis-komputer kini semakin mengglobal. Sedemikian maraknya, sehingga batas-batas dan kedaulatan negara-negara yang dilaluinya cenderung menjadi hilang-makna. Dalam konteks ini, terbentuklah sebuah lingkup baru: lingkup yang praktis nirbatas dan nyaris tidak tunduk pada keabsahan dan kemungkinan penerapan sistem hukum yang berbasis batas-batas geografis. Yang muncul adalah sebuah „perbatasan” baru yang memisahkan sebuah dunia maya – yang terdiri dari jejaring komputer, layar-pantau, papan-ketik dan passwords – dari dunia nyata yang lebih bersifat fisik. Dunia maya ini, yang semakin jamak disebut cyberspace, memerlukan perangkat hukum yang baru untuk sebuah tatanan badan-badan hukum yang belum jamak sebelumnya. Para penyusun perundangan dan hamba wet (penegak hukum) di banyak negara dihadapkan pada kenyataan runtuhnya keterkaitan antara lokasi geografis dan (1) kekuasaan pemerintah negara-negara untuk mengatur perilaku berjejaring, (2) dampak perilaku ini atas pribadi-pribadi dan atas berbagai barang yang bersangkutan, (3) keabsahan upaya satu negara atas fenomena yang juga menyentuh negara-negara lainnya, dan (4) kemampuan masing-masing negara untuk memberikan peringatan adanya peraturan yang mengatur perilaku berjejaring tersebut.

Di penghujung tahun 2002, di London berlangsung COMPSEC, sebuah konperensi internasional mengenai keamanan sistem komputer. Event yang dilaksanakan setahun sekali ini adalah salahsatu sumber informasi yang paling paripurna tentang masalah tersebut. Juga mengenai implikasinya, antara lain peringkat kemusykilan kejahatan di dunia komputer. Di antara demikian banyak topik yang dibahas, disentuh pula ihwal termutakhir mengenai kejahatan yang menggunakan komputer dan jejaring komunikasi data, atau yang umum dikenal dengan istilah e-Crime.

Dalam kaitan ini, patutlah bila kita prihatin setelah menyimak berita-berita yang keluar dari forum tersebut. Yang paling mencolok mungkin adalah pernyataan Rolf Hegel. pimpinan dari Serious Crime Department pada Europol: “Bicara mengenai cyber-crime, semakin jelas bahwa kita telah kalah dalam peperangan ini, bahkan sebelum kita mulai bertarung. Kita telah gagal untuk mengimbangi kecepatan perkembangan kejahatan yang satu ini.” Pernyataan yang dimuat dalam berita yang diturunkan oleh Bernhard Warner, Koresponden masalah Internet untuk wilayah Eropa pada Kantor Berita Reuters ini cukup mencengangkan, bahkan mungkin mencemaskan.

Sifat global yang mewarnai kejahatan dalam berjejaring komputer ini memang telah mengancam praktis seluruh masyarakat di dunia modern, dan menantang dinas-dinas kepolisian sedunia. Bermacam laporan yang dapat dikumpulkan dari berbagai negara, baik yang modern maupun yang masih berkembang, menunjukkan bahwa kelompok-kelompok kriminal yang terorganisir semakin banyak memanfaatkan teknologi termutakhir untuk melakukan kejahatan yang sudah mulai jamak dikenal, maupun bentuk-bentuk pelanggaran yang baru. Penyalah-gunaan Internet dan telepon genggam menjadi semakin populer dalam berbagai jenis e-Crime yang baru, mulai dari pornografi anak-di-bawah-umur (child pornography) sampai kejahatan korporasi yang semakin gawat akhir-akhir ini, khususnya sejak kuartal ketiga tahun 2001 yang lalu. Mencemaskan, apalagi bila ada seorang pejabat tinggi polisi internasional seperti Hegel yang sampai mengeluarkan pernyataan: „Kita jauh sekali tertinggal”.

Pada bulan September 2002 yang lalu, Europol telah membentuk High Tech Crime Centre, sebuah gugus kerja yang ditugasi untuk mengkoordinasikan kerjasama antar-negara di Eropa dalam melakukan penyidikan e-Crime lintas-batas. Menurut Hegel, unitnya saat ini memerlukan anggaran dan sumberdaya tambahan agar dapat berfungsi semestinya.

Serangan yang dilakukan atas sejumlah root servers yang terhubung dalam jejaring internet dunia awal Oktober 2002 yang lalu cukup mencemaskan bagi para pejabat law enforcement dunia. Dikhawatirkan bahwa kejahatan ini dilakukan secara terorganisir dan terkoordinasikan secara cermat dan profesional. Tujuannya adalah untuk mengganggu jejaring komunikasi global yang semakin vital untuk tata-niaga internasional.

Rolf Hegel bahkan menyatakan bahwa bila serangan seperti itu kini dilakukan pada jejaring komunikasi Eropa, maka polisi akan sangat kesulitan untuk melakukan penyidikan, apalagi untuk menangkap pelakunya. Ia berharap bahwa sistem hukum yang ada di Eropa dapat mendukung penyidikan dengan pola preventif a’la anti-terorisme yang diharapkan akan dapat menghindarkan negara-negara tersebut dari krisis, sebelum cyber crime meruyak dan merusak tata-niaga mereka. Hegel menyatakan bahwa tindak lanjut yang akan dilakukannya antara lain mencakup pembahasan mendalam dengan sasaran kejahatan jenis ini, yaitu perusahaan-perusahaan yang aktif memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengelolaannya.

Teknologi informasi dan kemudahan berjejaring dengan segala perniknya telah membuat tata-hukum dan proses rule-making yang biasanya digunakan, terutama yang berbasis batas-batas fisik dan geografis, menjadi kedaluwarsa. Paling tidak, kenyataan ini semakin mempertajam fakta bahwa cyberspace praktis tidak dapat diatur melalui tatanan hukum dan perundangan yang didefinisikan secara teritorial.•

Jos Luhukay •Pengamat dan Praktisi Ekonomi Baru.

Tidak ada komentar: